Senin, 28 Juni 2010

Zhang Khun Lai: Imigran Gelap Cina 13 Tahun Mondar-mandir di Indonesia

Peringatan perjalanan (travel warning) yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu terhadap para staf asingnya agar tidak berkunjung ke Aceh karena banyaknya razia teroris, ternyata tidak berdampak signifikan. Buktinya, kondisi arus ke luar-masuk warga asing ke daerah bekas konflik yang sedang dilanda isu terorisme ini tetap berjalan normal dalam sepekan terakhir. Kepala Imigrasi Banda Aceh, Wilmar Sayuti yang ditanyai Serambi, Jumat (26/3) mengenai dampak travel warning PBB itu setelah sepekan berlalu mengatakan ia malah tak pernah mendengar adanya peringatan yang demikian. Padahal, berdasarkan catatan Serambi larangan berkunjung ke Aceh itu dinyatakan PBB pada Sabtu (20/3) pekan lalu.

“Saya tidak pernah mendengar adanya travel warning PBB itu untuk Aceh, padahal saya tiap saat mengikuti berita di televisi. Kalau hanya ada di koran itu mungkin saya tidak baca,” kata Wilmar. Kalaupun benar ada travel warning PBB dilansir media cetak, menurut Wilmar, hingga saat ini tidak ada pengaruh apa-apa bagi Aceh. “Buktinya arus ke luar- masuk turis atau warga asing berjalan normal, malah terjadi peningkatan dalam satu pekan terakhir,” ungkapnya.

Menurut Wilmar, dalam dua pekan lalu, rata-rata per hari turis yang berkunjung ke Aceh via Malaysia dan mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, sekitar 5-7 orang. Akan tetapi, dalam pekan ini cenderung meningkat menjadi 10-15 orang per hari. “Inilah indikasinya mengapa saya katakan arus kunjungan warga asing ke Aceh normal-normal saja, bahkan agak meningkat. Itu pula sebab saya kaget mendengar adanya travel warning dari PBB itu.” Malah, menurutnya, warga asing yang berada di Aceh, baik turis maupun ekspatriat pekerja NGO cenderung memperpanjang izin kunjungan dan izin tinggal terbatasnya di Aceh. “Setiap hari rata-rata 10 orang kita layani warga asing yang mengajukan permohonan perpanjang izin kunjungan dan tinggal terbatas di Aceh,” terang Wilmar.

Pihaknya berharap situasi Aceh yang sudah membaik saat ini dapat terus dipertahankan, sehingga iklim investasi dan turis asing yang masuk ke daerah ini terus meningkat. “Kalau keamanan membaik, maka investor dan turis yang masuk meningkat, saya yakin ekonomi Aceh akan membaik. Masyarakatnya akan makmur,” demikian Wilmar. Seperti diberitakan sebelumnya, PBB mengeluarkan peringatan larangan sementara terhadap para staf asing berkunjung ke Provinsi Aceh. Tindakan ini diambil karena makin maraknya razia polisi untuk menumpas teroris di bekas daerah konflik ini.

“Travel warning ini tidak berlaku bagi staf Indonesia dan para staf PBB yang berada di Aceh. Mereka tetap di tempat sampai situasi kembali stabil,” ujar Juru Bicara PBB, Michele Zaccheo kepada wartawan The Associated Press (AP) melalui telepon, Sabtu (20/3) dini hari. Dikatakan, para staf asing yang sedang bekerja di Aceh tidak diminta untuk meninggalkan Aceh. Tetapi, para pekerja tambahan PBB tidak akan diizinkan melakukan perjalanan ke Aceh. “Tindakan ini berdasarkan kondisi keamanan sementara waktu seiring dengan operasi polisi masih berlanjut dan berlaku langsung larangan terhadap para staf internasional yang akan ke Aceh,” tegasnya.

Untuk para pekerja PBB di Banda Aceh telah diberi peringatan dasar, misalnya, harus membatasi perjalanan ke luar kota. Disebutkan, terdapat sekitar 300 staf PBB di Aceh atau 10 persen dari total pekerja asing pascatsunami. Para pekerja PBB ini berada di Aceh untuk membantu pembangunan kembali Aceh yang hancur dihantam gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.

Palsukan dokumen
Kemarin, Wilmar Sayuti juga menginformasikan bahwa petugas Imigrasi Banda Aceh mengamankan seorang warga Republik Rakyat Cina (RRC) bernama Zhang Khun Lai (59). Pria yang beralamat di Bogor (Jawa Barat) dan Tangerang (Banten) itu mengaku sebagai sopir sebuah perusahaan peternakan di Tangerang. Hingga kemarin, Zhang Khun sudah empat hari diamankan di Kantor Imigrasi Banda Aceh, karena tertangkap memalsukan dokumen untuk pembuatan paspor sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) turunan di Kantor Imigrasi Banda Aceh. Paspor asli miliknya yang dibuat saat ia masih di RRC sudah hilang saat baru beberapa hari tinggal di Bogor tahun 1997, sedangkan visa izin tinggal untuk kunjungan ke Indonesia yang hanya berlaku sebulan sudah berakhir sejak 28 Desember 1997.

“Artinya, sudah hampir 13 tahun Zhang menetap tanpa izin atau illegal stay di Indonesia. Dia tak pernah melapor ke polisi dan Kedutaan Besar RRC di Indonesia bahwa paspornya sudah hilang. Karena kehilangan paspor itu juga, maka izin kunjungan yang seharusnya bisa diperpanjang setiap sebulan sekali selama lima bulan, akhirnya tidak bisa dilakukan,” kata Wilmar didampingi Kepala Seksi Status Keimigrasian, Umriady. Wilmar mengatakan, Zhang mengaku pernah menjadi warga RRC yang bermukim bersama orang tuanya di Bangka Belitung. Dia dilahirkan di Bangka Belitung, 11 September 1951, namun pada 1960 ikut orang tuanya ke RRC dan kembali berkunjung ke Indonesia pada 1997. Saat itu, dia hanya mengantongi visa kunjungan kerja yang berlaku sebulan.

“Hal itu ketahuan berdasarkan pengakuan Zhang saat diinterogasi petuas kami. Awalnya dia dicurigai karena melampirkan dokumen palsu seperti fotokopi KTP, kartu KK, dan akte lahir,” kata Wilmar. Menurut Wilmar, untuk membuat paspor, Zhang menggunakan fotokopi KTP atas nama Sugian (42), beralamat di Desa Lambheu, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sugian adalah anak dari Aguswan yang merupakan WNI turunan RRC di Banda Aceh. Sedangkan di boarding pass pesawat dari Jakarta ke Banda Aceh, Zhang menggunakan KTP asli tapi palsu (aspal) dengan nama Hadi Wijaya, Tangerang.

“Sugian tak tahu apa-apa. Aguswan justru menyerahkan fotokopi KTP anaknya yang bernama Sugian untuk digunakan Zhang Khun mengurus paspor. Aguswan juga sudah kami periksa, dia bukan sindikat yang membantu pembuatan paspor kepada warga negaranya, tapi menolong Zhang karena kasihan, apalagi mereka masih satu marga,” kata Wilmar mengutip keterangan Aguswan. Wilmar menduga Zhang sengaja ingin mengelabui petugas imigrasi, karena mengira di Kantor Imigrasi Banda Aceh pemeriksaannya kurang ketat lantaran kurang banyak WNA dari RRC yang mengurus paspor.

“Kami hanya berhak mengamankannya untuk proses pemeriksaan di kantor imigrasi selama tujuh hari. Maka pada Senin (29/3) depan, kami akan melimpahkan Zhang ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudensi) Belawan, Sumut, untuk pemeriksaan lanjutan,” jelas Wilmar. Ditanya berapa lama Zhang akan ditahan di Rudensi Belawan, Wilmar mengatakan sangat tergantung pihak Kedutaan Besar RRC di Indonesia. Wilmar hanya menyebutkan, perbuatan Zhang melanggar Pasal 52 juncto Pasal 55 huruf c UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang ancaman maksimalnya lima tahun penjara.

Zhang yang dijumpai Serambi di salah satu ruang Kantor Imigrasi Banda Aceh mengaku ingin cari kerja di Banda Aceh. Dia mengaku duda satu anak yang telah lama bercerai. Sedangkan anaknya yang masih berumur 11 tahun kini masih di RRC. Secara terpisah, Kepala Divisi Imigrasi Kementerian Depkumham Aceh, Bambang Widodo memerintahkan kepada semua Kepala Kantor Imigrasi mengawasi ketat setiap pengurus paspor. Jika ada pelanggaran, harus diproses sesuai aturan keimigrasian.

0 komentar:

Posting Komentar